Fakta Sebenarnya Perang Jamal • Perang Antara Ali bin Abi Thalib Dan Aisyah RA 

a. Latar Belakang terjadinya perang jamal

Setelah Ali bin Abu Thalib dibai’at, Thalhah dan Azzubeir meminta ijin kepadanya untuk pergi ke Makkah. Ali pun menginjinkan mereka. Mereka kemudian bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah disana.Saat itu Aisyah sudah mendengar kabar bahwa Utsman terbunuh. Maka, mereka semua berkumpul di Makkah, hendak menuntut balas atas terbunuhnya Utsman.

Tidak lama kemudian, Ya’la bin Munyah dari Bashrah dan Abdullah bin Amir dari Kuffah datang ke Makkah. Mereka semua berkumpul di Makkah juga untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Mereka lalu keluar dari Makkah diikuti oleh orang-orang di belakang mereka, pergi menuju ke Bashrah hendak mencarai pembunuh Utsman. Semua itu mereka lakukan karena mereka memandang bahwa mereka telah lalai dalam menjaga Utsman. Ketika itu, Ali berada di Madinah, sementara Utsman bin Hunaif adalah gubernur Basharah yang diangakat oleh Ali bin Abu Thalib.

Sesampainya mereka di Bashrah, Ali menugaskan Utsman bin Hunaif untuk menanyakan tujuan mereka datang ke Bashrah. Mereka menjawab: “Kami menginginkan pembunuh Utsman.” Utsman bin Hunaif berkata: “Tunggulah hingga Ali datang. Ia melarang untuk masuk ke Bashrah.

Ketika itulah, Jabalah keluar menemui mereka. Jabalah ini adalah salah seorang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Ia menyerang mereka dengan jumlah pasukan 700 personil. Namun mereka dapat mengalahkannya dan membunuh personil yang bersamanya. Sementara banyak juga penduduk Bashrah yang bergabung dengan pasukan Thalhah, Azzubair, dan Aisyah ini.

Ali kemudian keluar dari Madinah, bergerak menuju Kufah. Ini terjadi setelah ia mendengar kabar bahwa telah terjadi peperangan antara Utsman bin Hunaif, gubernur tunjukan Ali untuk Bashrah, dengan Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang bersama mereka. Ali keluar setelah menyiapkan pasukan yang berjumlah 10.000 orang untuk menyerang Thalhah dan Azzubeir.

Disini kita melihat secara jelas bahwa Ali bin Abu Thaliblah yang keluar mendatangi mereka (Thalhah,Azzubeir, dan Aisyah), bukan mereka yang keluar menuju Ali. Mereka juga tidak bermaksud memerangi Ali sebagaimana yang diklaim oleh sebagian kelompok dan orang-orang yang terpengaruh oleh isapan jempol terkait peperangan ini. Jikalau mereka ingin memberontak terhadap Ali, tentunya mereka akan langsung pergi menuju ke Madinah, bukan ke Bashrah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang ikut bersama mereka tidak pernah membatalkan dan menolak kekhaliahan Ali. Mereka juga tidak mencela, tidak menyebutkan kejelekan, tidak membai’at orang selain Ali, dan tidak pergi menuju Bashrah untuk menyerang Ali. Karena, ketika itu Ali memang tidak berada di Bashrah.

Oleh karena itu, Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Aku bertemu Thalah dan Azzubeir setelah terjadi pengepungan terhadap Utsman, lantas bertanya: “Apa yang kalian berdua perintahkan kepadaku? Karena, aku melihat Utsman telah terbunuh.’

Mereka berdua menjawab: ‘Ikutilah Ali.’ Aku kemudian bertemu dengan Aisyah di Makkah setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman, lalu bertanya: “Apa yang engkau perintahkan?’

Dia menjawab: ‘Ikutilah Ali.” 1

b. Perundingan jelang meletusnya peperangan

Ali mengirimkan Almiqdad bin Alaswad dan Alqa’qa bin Amr untuk berunding dengan Thalhah dan Azzubeir. Pihak Almiqdad dan Alqa’qa sepakat dengan pihak Thalhah dan Azzubeir untuk tidak berperang. Masing-masing pihak menjelaskan sudut pandang mereka.

Thalhah dan Azzubeir berpendapat bahwa tidak boleh membiarkan pembunuh Utsman begitu saja, sedangkan pihak Ali berpendapat bawa menyelidiki siapa pembunuh Utsman untuk saat sekarang bukan hal paling mendesak. Namun, hal ini bisa ditunda sampai keadaan stabil. Jadi, mereka sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman. Adapun yang mereka perselisihkan adlah waktu untuk merealisasikan hal tersebut.

Setelah kesepakatan itu, dua pasukan pun bisa tidur dengan tenang, sedangkan para pengikut Abdullah bin Saba – mereka para pembunuh Utsman – terjaga dan melewati malam yang buruk, karena akhirnya kaum Muslimin sepakat untuk tidak saling berperang. Demikianlah keadaan yang disebutkan oleh para sejarawan yang mencatat peperangan ini, seperti Athabari,Ibnu Katsir,Ibnu Atsir,4 Ibnu Hazm,5 dan yang lainnya

Ketika itu para pengikut Abdullah bin Saba sepakat akan melakukan apa pun agar kesepakatan tersebut dibatalkan. Menjelang waktu subuh, ketika orang-orang sedang terlelap, sekelompok orang dari mereka menyerang pasukan Thalhah dan Azzubeir, lalu membunuh beberapa orang diantara pasukan mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri.

Pasukan Thalhah mengira bahwa pasukan Ali telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang pasukan Ali. Melihat hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan Thalhah dan Azzubeir telah berkhianat. Serang-menyerang antara kedua pasukan ini pun berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya, perang pun berkecamuk dengan heabatnya.

c. Upaya Menghentikan Peperangan

Para pembesar pasukan dari kedua belah pihak telah berupaya menghentikan peperangan, namun mereka tidak berhasil. Ketika itu Thalhah berkata: “Wahai manusia, apakah kalian mendengar!” Namun mereka tidak mendengarkan seruannya. Lalu, dia berkata: “Buruk! Buruk sekali jilatan neraka! Buruk sekali kerakusan!”6

Ali juga berupaya melerai mereka, namun mereka tidak menggubrisnya. Aisyah kemudian mengirimkan Ka’ab bin Sur dengan membawa mushaf untuk menghentikan perang, namun para pengikut Abdullah bin Saba membidiknya dengan anak panah sampai menewaskannya.

Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah berkecamuk maka tidak ada seorangpun yang dapat menghentikannya. Semoga Allah melindungi kita dari fitnah seperti itu. Imam Albukhari menyebutkan beberapa bait syair milik Imru-ul Qais:

Perang pertama-tama tampak seperti gadis rupawan

berjalan berhias ‘tuk menarik setiap orang bodoh

hingga jika telah menyala dan apainya berkobar-kobar

gadis itu jadi wanita tua yang tak berdaya tarik

rambutnya beruban, raut mukanya aneh dan menua

dengan bau yang tak sedap dihirup bila dicium7

Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata: “Apabila fitnah sudah terjadi, orang-orang pintar tidak akan mampu melerai orang-orang bodoh. Demikianlah yang terjadi pada para pembesar sahabat. Mereka tidak dapat memadamkan fitnah peperangan dan mencegah para pelakunya. Memang seperti inilah fitnah, sebagaimana yang Allah firmankan:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴿٢٥﴾

Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Alanfaal:25)8

Perang jamal terjadi pada tahun 36 h atau pada awal kekhilafahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk setelah zhuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu.

Dalam peperangan ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal (berunta) berjumlah 5.000 – 6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammmad bin Ali bin Abu Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin Azzubeir.

Pada perang ini banyak sekali kaum muslimin yang tewas terbunuh. Inilah fitnah yang kita berharap kepada Allah agara menyelamatkan pedang-pedang kita darinya. Kita memohon kepada Allah agar meridhai dan memberi ampunan kepada mereka (kaum Muslimin yang iktu dalam perang ini).

d. Terbunuhnya Thalhah dan Azzubeir

Thalhah, Azzubeir, dan Muhammad bin Thalhah tewas terbunuh. Mengenai Azzubeir, ia sebenarnya tidak ikut serta dalam perang ini. Begitu juga dengan Thalhah. Karena ada sebuah riwayat menyebutkan bahwasanya ketika Azzubeir datang pada perang ini, ia bertemu Ali bin Abu Thalib, lantas Ali berkata kepadanya: “Apakah engkau ingat bahwa Rasulullah pernah bersabda: ‘Engkau akan memerangi Ali sedangkan engkau dalam posisi mendzaliminya.’ “Maka, pada hari itu Azzubeir kembali dan tidak ikut berperang9

Jadi yang benar adlah Azzubeir tidak ikut perang. Tetapi apakah dialog yang disebutkan dalam riwayat itu memang terjadi antara ia dan Ali? Wallahu a’lam. Karena , riwayat ini tidak memiliki sanad yang kuat. Namun, begitulah yang masyhur dalam buku-buku sejarah. Ada lagi riwayat yang lebih masyhur, yakni Azzubeir tidak ikut dalam perang ini, namun ia dibunuh secara diam-diam oleh seorang yang bernama Ibnu Jurmuz.

Sementara itu, Thalhah terbunuh karena terkena anak panah nyasar. Namun, yang masyhur, orang yang membidiknya adalah Marwan bin Alhakam. Bidikan Marwan mengenai kakinya, tepat pada bekas luka lamanya. Ketika itu ia sedang berusaha melerai para prajurit yang berperang.

Seusai perang, banyak prajurit yang terbunuh. Khususnya, mereka yang menjaga unta yang dikendarai oleh Aisyah, karena Aisyah merupakan simbol bagi mereka, bahkan mereka mati-matian dalam melindunginya. Karena itu, dengan tumbangnya unta Aisyah, perang pun berhenti dan selesai. Kemenangan berada di pihak Ali bin Abu Thalib, walaupun sebenarnya tidak ada pihak yang menang. Justru, Islam dan kaum Muslimin memperoleh kerugian dalam perang ini.

e. Pasca Terjadinya Peperangan

Pasca Perang Jamal, Ali berjalan di antara para korban yang tewas, lalu menemukan mayat Thalhah bin Ubaidillah. Setelah mendudukannya dan mengusap debu dari wajahnya, Ali berkata: “Wahai Abu Muhammad, alangkah berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas tanah di bawah bintang-bintang langit.” Ia pun kemudian menangis seraya berkata: “Aduhai, seandainya aku mati dua puluh tahun silam sebelum peristiwa ini.10

Setelah itu, Ali melihat mayat Muhammad bin Thalhah (yaitu anak dari Thalhah), lalu ia menangis lagi. Muhammad bin Thalhah adalah orang yang dijuluki dengan Assajjad (orang yang banyak sujud) karena dia banyak beribadah.

Seluruh Sahabat yang mengikuti perang ini, tanpa terkecuali, menyesali apa yang telah terjadi.

Ibnu Jurmuz menemui Ali sambil membawa pedang milik Azzubeir, lalu berkata: “Aku telah membunuh Azzubeir, aku telah membunuh Azzubeir.” Mendengar hal itu, Ali berkata: “Pedang ini telah begitu lama menghilangkan duka dan kesusahan Rasulullah. Berikanlah berita gembira kepada orang yang telah membunuh Ibnu Shafiyyah (yaitu Azzubeir) bahwa ia akan masuk Neraka.” Setelah itu Ali tidak mengijinkan Ibnu Jurmuz untuk menemuinya.11

Pasca Perang Jamal, Ali menemui Ummul Mukminin Aisyah, kemudian mengantarkannya pulang ke Madinah dengan penuh kemuliaan dan kehormatan. Sebab, dahulu Nabi pernah memerintahkan kepada Ali agar memuliakan dan menghormati Aisyah.

Diriwayatkan dari Ali; dia berkata bahwasanya Rasulullah bersabda kepadanya: “Akan terjadi suatu masalah antara kau dan Aisyah.” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu, tentu aku akan menjadi orang yang paling celaka.” Rasulullah berkata: “Tidak demikian adanya, tapi jika itu terjadi, maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.”12 Maka Ali pun melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah kepadanya.

f. Mengapa Ali menunda qishash bagi pembunuh Utsman?

Ali meninjau masalah ini dari segi maslahat dan mafsadatnya, dan ia melihat bahwa yang maslahat adalah menunda qishash, tapi bukan meninggalkannya sama sekali. Inilah yang menjadi alasan ditundanya qishash. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi pada peristiwa ifki, yaitu ketika sebagian orang menggosipkan Aisyah telah selingkuh.

Diantara mereka yang masyhur menggosipkan Aisyah saat itu adalah: Hassan bin Tsabbit, Hammah binti Jahsy, dan Misthah bin Utsatsah. Sementara yang menjadi penyulutnya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika itu, Nabi naik ke atas mimbar, kemudian bersabda: “Siapa yang membelaku terhadap seseorang yang menyakitiku dengan menyakiti keluargaku?” Yang beliau maksud dengan orang itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka, Sa’ad bin Mu’adz pun berdiri dan berkata: “Aku yang akan membelamu, wahai Rasulullah! Apabila orang itu berasal dari kami, orang-orang Aus, maka kami akan membunuhnya. Apabila orang itu berasal dari saudara kami, orang-orang Khazraj, maka perintahkanlah pada kami untuk membunuhnya.

Sa’ad bin Ubadah kemudian berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Mu’adz. Setelah itu, Usaid bin Hudhair berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Ubadah. Nabi pun menenangkan mereka.13

Nabi tahu betul bahwa ini merupakan masalah besar. Sebelum kedatangan nabi ke Madinah, suku Aus dan Khazraj sepakat menjadikan Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin mereka. Maka dari itu, orang ini mempunyai kedudukan yang tinggi dalam pandangan mereka. Dialah yang kembali bersama sepertiga pasukan pada saat Perang Uhud. Dalam hal ini, Nabi tidak menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul. Mengapa demikian? Karena, maslahat. Menurut pandangan beliau, menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul ketika itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada apabila beliau membiarkannya.

Demikian juga dengan Ali. Ia berpandangan bahwa menunda qishash akan menimbulkan kerusakan yang lebih kecil daripada mempercepatnya. Selain itu, pada masa-masa tersebut, Ali memang tidak mampu untuk mengqishsash para pembunuh Utsman, karena orang-orangnya belum diketahui, walaupun memang ada otak terjadinya fitnah ini dan mereka mempunyai kabilah-kabilah yang akan membela mereka. Sedangkan keamanan belum pulih, dan fitnah saat itu masih terjadi. Siapa yang berani menjamin bahwa mereka tidak akan membunuh Ali? Bahkan, bila Ali mengqishashnya ketika itu, bisa dipastikan mereka akan membunuhnya setelah itu.

Oleh karena itu, ketika tampuk kekhalifahan dipegang oleh Mu’awiyah, ia pun tidak membunuh para pembunuh Utsman, mengapa? Karena, pada akhirnya berkesimpulan sama seperti Ali. Ketika itu Ali melihat realita. Sementara Mu’awiyah berkesimpulan berdasarkan analisanya saja. Tapi setelah memegang tampuk kepemimpinan, Mu’awiyah melihat kondisi secara riil (di lapangan). Benar, Mu’awiyah telah mengirimkan orang untuk mengqishash sebagian di antara pembunuh Utsman, tetapi sebagiannya masih hidup sampai jaman Alhajjaj. Barulah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan mereka diqishash semuanya.

Intinya, Ali belum bisa membunuh mereka bukan karena lemah, tetapi karena mengkhawatirkan keadaan umat ketika itu.

Dinukil dari buku terjemahan yang berjudul “inilah faktanya” Meluruskan sejarah umat islam sejak wafat nabi hingga terbunuhnya husein

foot note:

Fathul baari (XIII/38). Ibnu Hajar, penulisnya, berkata: “Ath thabari meriwayatkan kisah ini dengan sanad shahih.”

Taariikh Aththabari (III/517).

Albidaayah wan Nihaayah (VII/509)

Alkaamil fit Taariikh (III/120).

Alfishal fil Milal wal Ahwaa wan Nihal (IV/293).

Taariikh Khalifah bin Khayyath (hlm. 182)

Shahiihul Bukhari, Kitab “Alfitnah”, Bab “AlFitnatul Latii Tamuuju Kamaujil Bahr”,sebelum hadits nomor 7096.

Mukhtashar Minhaajis Sunnah ( hlm. 281)

Almushannaf karya Ibnu Abi Syaibah (XV/283, no. 19674). Dalam sanad riwayat ini ada perawi yang majhul (tidak dikenal identitasnya). Riwayat ini juga disebutkan oleh al hafidz Ibnu Hajar dalam al-Mathaalibul ‘Aliyah (no. 4412)

Mukhtashar Taariikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir (XI/207) dan Usdul Ghaabah (III/88). AlBushriri berkata: “Para perawinya tsiqah”, dan dia mengutipnya dari Ibnu Hajar dalam alMathaalibul ‘Aaliyah (IV/302) dengan sedikit perbedaan redaksi.

Ath-Thabaqaatul Kubraa karya Ibnu Sa’ad (III/105) dengan sanad hasan.

HR. Ahmad dalam musnadnya (VI/393). Alhafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (XIII/60) : “Sanad hadits ini hasan.”

Muttafaq Alaih : Shahihul Bukhari, Kitab “Al Maghaazi”, Bab “Haditsul Ifki” (no. 414); dan Shahiih Muslim, Kitab “Attaubah”, Bab “Haditsul Ifki wa Qabuul Taubatil Qaadzif” (no. 2770).




MUNCULNYA BERBAGAI MACAM FITNAH

C. PERANG JAMAL
Di antara fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman Radhiyallahu anhu adalah perang Jamal yang terjadi antara ‘Ali Radhiyallahu anhu di satu pihak dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair Radhiyallahu anhum di pihak lain. Hal itu ketika ‘Utsman terbunuh, orang-orang mendatangi ‘Ali di Madinah, mereka berkata, “Berikanlah tanganmu agar kami membai’atmu!” Lalu beliau menjawab, “Tunggu, sampai orang-orang bermusyawarah.” Kemudian sebagian dari mereka berkata, “Seandainya orang-orang kembali ke negeri-negeri mereka karena terbunuhnya ‘Utsman, sementara tidak ada seorang pun yang mengisi posisinya, niscaya tidak akan aman dari pertikaian dan kerusakan umat.” Lalu mereka terus mendesak ‘Ali z agar menerima bai’at mereka, akhirnya mereka membai’atnya. Di antara orang yang membai’at beliau adalah Thalhah, dan Zubair Radhiyallahu anhuma. Kemudian keduanya pergi ke Makkah untuk melakukan umrah. Di sana mereka ditemui oleh ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma. Setelah berbincang-bincang tentang peristiwa terbunuhnya ‘Utsman, maka mereka pergi ke Bashrah dan meminta kepada ‘Ali agar menyerahkan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman [1], namun ‘Ali tidak menjawab permohonan mereka karena beliau menunggu keluarga ‘Utsman agar mereka meminta putusan hukum darinya. Jika terbukti bahwa seseorang adalah di antara pembunuh ‘Utsman, maka dia akan mengqishasnya. Setelah itu mereka berbeda pendapat tentangnya, dan orang-orang tertuduh sebagai pelaku pembunuhan -yaitu orang-orang yang memberontak kepada ‘Utsman- merasa takut jika mereka bersepakat untuk memerangi mereka, akhirnya mereka mengobarkan api peperangan di antara dua kelompok ter-sebut (kelompok ‘Ali dan ‘Aisyah).”[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada ‘Ali bahwasanya akan terjadi perkara antara dia dengan ‘Aisyah. Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Rafi’, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib:

إِنَّهُ سَيَكُونُ بَيْنَكَ وَبَيْنَ عَائِشَةَ أَمْرٌ، قَالَ: أَنَا يَا رَسُـولَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَنَا أَشْقَاهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ إِذَا كَانَ ذَلِكَ؛ فَارْدُدْهَا إِلَى مَأْمَنِهَا.

“Sesungguhnya akan terjadi perkara di antara engkau dengan ‘Aisyah.” Dia berkata, “Aku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Betul.” Dia berkata, “Kalau begitu aku mencelakakan mereka wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi jika hal itu terjadi, maka kembalikanlah ia ke tempatnya yang aman.’” [3]

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa ‘Aisyah, Thalhah dan az-Zubair tidak pergi untuk melakukan peperangan akan tetapi untuk melakukan perdamaian di antara kaum muslimin adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari jalan Qais bin Abi Hazim, dia berkata:

لَمَّا بَلَغَتْ عَـائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا دِيَـارَ بَنِيْ عَامِرٍ، نَبَحَتْ عَلَيْهَا الْكِلاَبُ، فَقَالَتْ: أَيُّ مَـاءٍ هَذَا؟ قَالُوْا: الْحَوْأَبُ. قَالَتْ: مَا أَظُنُّنِيْ إِلاَّ رَاجِعَةً. قَالَ لَهَا الزُّبَيْـرُ: لاَ بَعْدُ، تَقَدَّمِيْ، فَيَرَاكِ النَّاسُ، فَيُصْلِحُ اللهُ ذَاتَ بَيْنِهِمْ. فَقَالَتْ: مَا أَظُنُّنِيْ إِلاَّ رَاجِعَةً، سَمِعْتُ رَسُـوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: كَيْفَ بِإِحْدَاكُنَّ إِذَا نَبَحَتْهَا كِلاَبُ الْحَوْأَبِ.

“Sesampainya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di perkampungan Bani ‘Amir, anjing-anjing menggonggong, lalu dia berkata, “Air apakah ini?” [4] Mereka berkata, “Al-Hau-ab.” Beliau berkata, “Aku kira aku harus kembali.” Az-Zubair berkata kepadanya, “Tidak nanti saja, teruslah maju, lalu orang-orang akan melihatmu sehingga Allah mendamaikan di antara mereka.” Beliau berkata, “Aku kira aku harus kembali, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang terjadi pada salah seorang di antara kalian ketika anjing-anjing al-Hau-ab menggonggongnya?’”[5]

Sementara dalam riwayat al-Bazzar dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada isteri-isterinya:

أَيَّتُكُنَّ صَاحِبَةُ الْجَمَلِ اْلأَدْبَبِ، تَخْرُجُ حَتَّى تَنْبَحَهَا كِلاَبُ الْحَوْأَبِ، يُقْتَلُ عَنْ يَمِيْنِهَا وَعَنْ شِمَالِهَا قَتْلَى كَثِيْرَةٌ، وَتَنْجُو مِنْ بَعْدِ مَاكَادَتْ.

“Siapakah di antara kalian yang memiliki unta dengan banyak bulu di mukanya, dia pergi sehingga anjing-anjing al-Hau-ab menggonggong, di sebelah kanannya dan sebelah kirinya banyak (orang) yang terbunuh, dan dia selamat padahal sebelumnya hampir saja (dia pun terbunuh).” [6]

Ibnu Taimiyyah berkata, “Sesungguhnya ‘Aisyah tidak pergi untuk melakukan perang, beliau pergi hanya untuk melakukan perdamaian di antara kaum muslimin, dan beliau mengira bahwa kepergiannya itu mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin, kemudian setelah itu beliau sadar bahwa tidak keluar lebih utama, maka jika beliau mengingat kepergiannya itu, beliau menangis sehingga kerudungnya basah, dan demikianlah kebanyakan Salaf, mereka merasa menyesal atas peperangan yang mereka lakukan. Maka Thal-hah, az-Zubair dan ‘Ali pun merasa menyesal Radhiyallahu anhum.”

Pada peristiwa perang Jamal sama sekali tidak ada niat dari mereka untuk melakukan peperangan, akan tetapi terjadinya peperangan bukan atas pilihan mereka. Karena ketika ‘Ali, Thalhah dan az-Zubair saling berkirim surat, mereka bermaksud untuk mengadakan kesepakatan damai. Jika mungkin, mereka akan meminta kepada para penebar fitnah untuk menyerahkan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman. ‘Ali sama sekali tidak ridha terhadap orang yang telah membunuh ‘Utsman, dia juga bukan orang yang membantu pembunuhan tersebut, sebagaimana ia bersumpah, “Demi Allah aku tidak membunuh ‘Utsman dan tidak mendukung pembunuhannya.” Sedangkan dia adalah orang yang berkata benar lagi jujur dalam sumpahnya. Kemudian para pembunuh takut jika ‘Ali bersepakat dengan mereka untuk menahan orang-orang yang telah membunuh ‘Utsman, lalu mereka membawa pasukan untuk menyerang Thalhah dan az-Zubair, sehingga Thalhah dan az-Zubair menyangka bahwa ‘Ali telah menyerangnya. Kemudian mereka membawa pasukan untuk melakukan pertahanan sehingga ‘Ali menyangka bahwa mereka telah menyerangnya, sehingga beliau pun melakukan pertahanan. Akhirnya terjadilah fitnah (peperangan) bukan atas keinginan mereka. Sedangkan ‘Aisyah hanya menunggangi unta dan tidak ikut dalam peperangan, juga tidak memerintah untuk melakukan peperangan. Demikianlah yang diungkapkan oleh lebih dari satu orang ulama dan ahli khabar.[7]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Abu Bakar Ibnul ‘Arabi dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim berpendapat, “Sesungguh-nya mereka berangkat ke Bashrah untuk mengadakan perdamaian di antara kaum muslimin.” Beliau berkata, “Inilah yang benar, dan bukan untuk tujuan selain itu, dan hal ini didukung oleh berbagai kabar shahih yang menjelaskannya.”
Lihat al-‘Awaashim (hal. 151).
[2]. Lihat penjelasan rincinya dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/54-59).
[3]. Musnad Imam Ahmad (VI/393, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
Hadits ini hasan. Lihat Fat-hul Baari (XIII/55).
[4]. الْحَوْأَب sebuah tempat dekat Bashrah. Tempat itu di antara sumber air pada zaman Jahiliyyah, dan merupakan jalan yang ditempuh oleh orang yang datang dari Makkah menuju Bashrah. Dinamakan al-Hau-ab dinisbatkan kepada Abu Bakar bin Kilab al-Hau-ab, atau nisbat kepada al-Hau-ab binti Kalb bin Wabrah al-Qudha’iyyah.
Lihat Mu’jamul Buldaan (II/314), dan catatan pinggir Muhibbuddin al-Khatib atas kitab al-‘Awaa-shiim minal Qawaashim (hal. 148).
[5]. Mustadrak al-Hakim (III/120).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya berdasarkan syarat ash-Shahiih.” Lihat Fat-hul Baari (XIII/55).
Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, dan perawi Ahmad adalah perawi ash-Shahiih.” (Majma’uz Zawaa-id VII/237).
Hadits ini terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (VI/52, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanzul ‘Ummal).
[6]. Fat-hul Baari (XIII/55), Ibnu Hajar berkata, “Para perawinya tsiqah.”
Al-Imam Abu Bakar Ibnul ‘Arabi mengingkari hadits al-Hau-ab dalam kitabnya al-‘Awaashim minal Qawaashim (hal. 161), pendapat itu diikuti oleh Syaikh Muhibbuddin al-Khatib dalam ta’liqnya terhadap kitab al-‘Awashim, dan beliau menyebutkan bahwa hadits tersebut sama sekali tidak ter-maktub di dalam kitab-kitab Islam yang diakui.
Akan tetapi hadits tersebut shahih, hadits tersebut dishahihkan oleh al-Haitsami dan Ibnu Hajar sebagaimana dijelaskan terdahulu. Al-Hafizh dalam kitab Fat-hul Baari (XIII/55) pada pembahasannya terhadap hadits al-Hau-ab berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, di-shahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, dan sanadnya berdasarkan syarat al-Bukhari.”
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, dan beliau membantah orang yang membatalkan keshahihan hadits ini. Beliau menjelaskan bahwa yang me-riwayatkannya adalah di antara para Imam. Lihat as-Silsilah (jilid 1, juz 4-5/223-233) (no. 475).
[7]. Minhaajus Sunnah (II/185).



Instagram : @islam_nasehat
Facebook Page : @islamnasehatpage